-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Refleksi Akhir Tahun 2023: Ketika Berpolitik Tanpa Nalar-Etik

Senin, 01 Januari 2024 | 12.56 WIB Last Updated 2024-01-21T08:45:39Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

lingkartiga.online - Ketika nalar-etik dikaburkan atau ingin dihilangkan dalam kanca politik, maka masyarakat akan dipandu oleh nilai-nilai materialistik-duniawi.


Kendali politik pun dipegang oleh para brutus yang membenarkan terbenamnya nalar-etik. Rakyat yang mencoba kritis pun disuntik dana, dengan alasan menjalankan program kenegaraan, sehingga nalar-etik tenggelam bersamanya.


Nabi Muhammad telah mengalami upaya pendangkalan nilai-nilai profetik dengan hadirnya tawaran menggiurkan berupa harta, jabatan, wanita.


Namun hal itu tidak meneruskan tegaknya spirit profetik. Allah pun memberi pertolongan dengan memberi kemenangan sehingga runtuhlah kekuatan oligarki yang telah bercokol dan mengakar kuat.


Realitas politik saat ini sedang menguji apakah nalar-etik ini akan terkubur dengan menjamurnya tawaran menggiurkan yang dilakukan oleh rezim dan para brutusnya, atau justru semakin mengokohnya kesadaran kritis masyarakat yang ingin menegakkan nalar-etik.


Pengkaburan Nalar-Etik

Panduan nalar-etik dalam menjalankan kekuasaan saat ini sedang mengalami pencerabutan. Hal ini ditandai dengan merebaknya pragmatisme yang diupayakan untuk mengikis habis spirit membangun peradaban bangsa.


Para elite politik seolah kehilangan elan vital tumbuhnya politik yang berkeadaban. Mereka telah mabuk kekuasaan sehingga rela terkuburnya nalar-etik.


Negeri ini tegak karena perjuangan para pendiri bangsa (founding parents) yang disupport oleh nilai-nilai etik. Mereka berjuang mengusir penjajah tanpa memiliki target untuk mendapatkan kekuasaan atau menumpuk aset.


Mereka memperjuangkan kemerdekaan bangsa darah dan meregang nyawa. Mereka pun tidak ingin mewariskan kemerdekaan bangsa kepada anak dan keluarga mereka, tetapi untukmenciptakan keadilan kesejahteraan seluruh anak bangsa.


Pemandangan berbeda dengan situasi politik saat ini, Dimana para elite politik sedang berjuang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasan.


Mereka menjual dan menggadaikan nilai-nilai luhur para pendiri bangsa yang patriotik dan diganti dengan tujuan pragmatis.


Mereka pun secara terbuka menelanjangi praktik politik mereka yang menghalalkan segala cara untuk mengubur nalar-etik. Para elite politik pun secara kolektif melanggengkan politik dinasti yang mengerucut pada keluarga seseorang.


Para praktisi dan pengamat politik pun sudah menyoroti perilaku politik rezim Jokowi hingga sampai pada titik keprihatinan bersama adanya jurang menganga yang akan menenggelamkan demokrasi.


Jokowi dipandang sebagai musuh bersama (common enemy) karena sedang menjalankan praktik politik yang mengubur nalar-etik. Hal ini karena dia berusaha dengan sadar untuk menggantikan praktek demokrasi menjadi politik dinasti.


Praktik politik dinasti rezim Jokowi dimulai dengan keberhasilannya menyelundupkan pasal di Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan anaknya, Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) mendampingi Prabowo Subiyanto.


Lolosnya Gibran sebagai Cawapres tidak lepas dari campur tangan tangan sang paman, Anwar Usman yang saat itu menjadi ketua MK.


Publik pun berpandangan bahwa lolosnya Gibran, sebagai sebagai Cawapres, merupakan praktek lahirnya anak haram konstitusi, dan hal ini melahirkan praktek-praktek politik yang menabrak nalar-etik.


Artinya, praktek politik yang disuguhkan para elite politik pendukung Gibran, bila melanggar nalar-etik, tidak ada sangsi dan mengalami pembiaran.


Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun tidak bersikap netral-independen, tetapi banyak menguntungkan pihak Gibran.


KPU tidak lagi bertindak sebagai penyelenggara Pemilihan Presiden (Pilpres) yang melayani kepentingan semua pasangan Calon (Paslon) tetapi lebih condong kepada Gibran.


Saat debat Capres-Cawapres misalnya ada pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Gibran karena menggunakan peralatan tambahan saat debat.


KPU pun membiarkan hal itu terjadi tanpa mempersoalkan meski publik telah memperdebatkan adanya pelanggaran etik itu.


Demikian pula yang dilakukan Bawaslu tidak pernah secara tegas menindak pelanggaran Gibran yang terlihat secara terbuka.


Bagi-bagi duit dan susu yang dilakukan oleh Gibran tidak diambil tindakan tegas tetapi pura-pura tidak tahu tanpa berani menegakkan aturan.


Bahkan dalam kontestasi Pilpres ini, para pejabat publik pun tidak mundur dari jabatan pentingnya pada dia menjadi Capres-Cawapres.


Praboowo Subiyanto sebagai Capres tidak mundur dari Menteri Pertahanan. Demikian juga Gibran tidak mundur dari jabatannya sebagai Walikota Solo.


Hal ini jelas pelanggaran karena di samping melanggaraturan Pemilu, juga berpotensi besar menggunakan fasilitas negara untuk memenangkan pencalonannya.


Hal ini juga dialami oleh Mahfud MD yangtidak mundur sebagai Menteri Perthanan padahal di Nyawapres lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).


Praktik politik di atas bukan hanya menabrak aturan Pemilu tetapi juga menabrak tatanan nalar-etik.


Hal ini bukan hanya kemunduran dan merusak tatanan demokrasi, tetapi mewariskan jejak politik yang tidak baik bagi generasi berikutnya.


Alih-alih menunjukkan sikap kritis, elite politik yang terlibat dalam koalisi Jokowi pun justru membiarkan dan membenarkan praktek politik dinasti itu. Mereka tergiur oleh kekuasaan dan jabatan serta janji-janji politik rezim ini.


Menegakkan Nilai Profetik dan Nalar-Etik

Ketika dakwah profetik yang diperjuangkan Nabi Muhammad tidak bisa dihentikan, maka orang-orang kafir Quraisy menghadang dengan godaan duniawi.


Mereka mengutus Al-Walid bin Mughirah untuk medatangi Nabi Muhammad. Dia seorang pembesar Quraisy yang sangat cerdas dan jenius yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain. Dia diberi tugas khusus untuk mensugesti Nabi agar menghentikan dakwah tauhidnya.


Dia pun mengajukan berbagai tawaran prestisius, sehingga Nabi bisa goncang dan menghentikan dakwahnya.


Al-Walid menyodori sejumlah tawaran berupa harta yang sangat banyak, jabatan tinggi dan berpengaruh, sejumlah wanita yang sangat cantik.


Bahkan tawaran medis pun disodorkan karena nabi dianggap terkena sihir karena berlaku aneh karena keluar menjadi penyebar agama baru.


Alih-alih menghentikan dakwah, nabi justru mengancam balik Al-Walid dengan datangnya petir yang menimpa kaum Nabi Hud dan Nabi Shalih yang pernah menolak peringatan dari Allah.


Nabi pun membacakan ayat Allah: “Jika mereka berpaling maka katakanlah : Aku telah memperingatkan kamu akan (bencana ) petir seperti petir yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud. (Fushshilat : 13).”


Setelah Nabi Muhammad memberi ancaman itu, maka Al-Walid pun kehilangan narasi dan kembali kepada kaumnya.


Setelah kembali kepada kaumnya, dia menyarankan kepada para pemuka Quraisy untuk membiarkan dakwah Nabi Muhammad berlanjut.


Hal ini karena teguh dan kokohnya jiwa Nabi Muhammad, serta sandarannya yang penuh pada Allah sehingga sulit dihentikan.


Dan terbukti bahwa spiritual Nabi Muhammad yang begitu kuat, datanglah pertolongan Allah, sehingga menggoncangkan dunia arab, dan Islam jaya dan menguasai dunia.


Kekuatan spiritual Nabi Muhammad benar-benar kokoh, memandu dakwahnya, sehingga tak luntur oleh godaan-godaan duniawi.


Hal ini hendaknya menjadi spirit bagi kaum muslimin yang memperjuangkan tegaknya nilai-nilai spiritual untuk tetap tegar menghadapi risiko apa pun.


Allah Sang Maha Pencipta yang Maha kuat akan menolong hamba-hamba-Nya yang teguh memegang nilai-nilai-nilaiprofetik.


Bukannya luntur dan hilang spiritual agamanya, ketika ada pihak-pihak tertentu yang ingin menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.


Elite politik Islam hendaknya mengambil pelajaran penting atas perjuangan Nabi Muhammad yang percaya datangnya pertolongan Allah ketika memegang prinsip beragama.


Allah pun akan membiarkan kehinaan suatu kaum yang menukar keuntungan duniawi dengan menghapus nalar-etiknya dalam kehidupan politiknya. (*)

1 komentar:

×
Berita Terbaru Update